Tetap Terhubung

Dimanapun Kamu Berada

Blog Pelajar DM

Berbagi itu indah,jangan lupa berbahagia.

Request Buku disini??

Pasti bisa..............."Ayo Belajar"



Sri Sultan Hamengkubuwana IX



 Sri Sultan Hamengkubuwana IX (bahasa Jawaꦱꦿꦶ​ꦱꦸꦭ꧀ꦠꦤ꧀​ꦲꦩꦼꦁꦏꦸꦧꦸꦮꦤ​ꦏꦥꦶꦁ​ꦱꦔ translit. Sri Sultan Hamengkubuwana IX; 12 April 1912 – 2 Oktober 1988[a]) atau Gusti Raden Mas Dorodjatun adalah Sultan Yogyakarta kesembilan dan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta yang pertama. Ia merupakan Wakil Presiden Indonesia kedua yang menjabat pada tahun 1973–1978. Hamengkubuwana IX juga menjadi Ketua Kwartir Nasional Gerakan Pramuka yang pertama dan dikenal sebagai Bapak Pramuka Indonesia.

Masa kecil dan pendidikan

Lahir di Ngasem, Sompilan, Yogyakarta dengan nama Gusti Raden Mas Dorodjatun, Hamengkubuwana IX merupakan putra kesembilan[1] dari Gusti Pangeran Puruboyo—kelak bergelar Hamengkubuwana VIII—dengan permaisurinya, Raden Ajeng Kustilah.[2][3][4] Pada umur 4 tahun, Dorodjatun kecil mulai tinggal terpisah dari keraton. Ia dititipkan kepada keluarga Mulder, orang Belanda yang menjabat kepala sekolah Neutrale Hollands Javaanse Jongens School dan tinggal di daerah Gondokusuman. Ketika tinggal bersama keluarga Mulder, Dorodjatun dipanggil dengan nama Henkie yang diambil dari nama Pangeran Hendrik dari Belanda.[5]

Henkie mendapatkan pendidikan pertamanya di taman kanak-kanak Frobel School dan Eerste Europese Lagere School B untuk pendidikan dasarnya. Setahun kemudian ia pindah ke kediaman keluarga Cock dan bersekolah di Neutrale Europese Lagere School hingga lulus pada bulan Juli 1925.[6] Ayahnya diangkat menjadi Hamengkubuwana VIII ketika ia duduk di kelas III sekolah tersebut.[7] Di sekolah tersebut, Dorodjatun bertemu dan berteman dengan Sultan Hamid II yang dijuluki Mozes saat itu.[8][6]

Dorodjatun mengenyam pendidikan menengahnya di Hogere Burgerschool (HBS) Semarang selama setahun sebelum pindah ke HBS Bandung.[9][10] Pada tahun 1930, Dorodjatun bersama kakaknya, BRM Tinggarto[b] pindah ke Belanda. Ia mulai bersekolah di Lyceum Haarlem, Belanda setelah kepindahannya dan tinggal di kediaman kepala sekolahnya, Mourik Broekman.[11][12] Ia kerap dipanggil Sultan Henk ketika menuntut ilmu di sekolah tersebut.[13] Setelah lulus pada tahun 1934,[11] Dorodjatun dan kakaknya pindah ke Leiden. Ia masuk ke perguruan tinggi Rijksuniversiteit Leiden—Universitas Leiden saat ini—dan mengambil studi Indologi, studi yang mempelajari administrasi kolonial di Hindia Belanda.[14][15][16][17] Belum sempat menyelesaikan skripsi untuk studinya, Dorodjatun bersama saudara-saudaranya yang di luar negeri dipanggil oleh keluarga di Jogja untuk kembali ke Hindia Belanda setelah terjadinya Penyerbuan Jerman ke Polandia tahun 1939.[18][19] Hingga akhir hayatnya, Hamengkubuwana IX belum mendapatkan gelar apapun dari universitas karena belum sempat mengikuti wisuda kelulusannya.[20]

Sultan Yogyakarta

Suksesi takhta

Setelah tiba di Batavia dari Belanda pada bulan Oktober 1939, GRM Dorodjatun dijemput langsung oleh ayahnya menuju Hotel des Indes.[21][22] Ketika seorang penguasa swapraja di Batavia, umumnya ada banyak agenda kegiatan yang harus dipenuhi. Salah satu acara yang dihadiri keluarga kerajaan bersama Dorodjatun di Batavia adalah undangan santapan malam di Istana Gubernur Jenderal Hindia Belanda.[23] Pada saat bersiap untuk menghadiri undangan tersebut, Dorodjatun disematkan keris Kyai Jaka Piturun oleh ayahnya. Keris ini umumnya diwariskan kepada putra penguasa yang dikehendaki menjadi putra mahkota. Oleh karena itu, penyematan ini menandakan bahwa Dorodjatun adalah pewaris takhta Kesultanan Yogyakarta.[24][25][26]

Setelah menghadiri agenda selama tiga hari di Batavia, keluarga kerajaan beserta Dorodjatun kembali ke Yogyakarta menggunakan Kereta api Eendaagsche Express. Dalam perjalanan, Hamengkubuwana VIII jatuh sakit hingga tak sadarkan diri. Sesampainya di Yogyakarta, Sultan segera dilarikan ke Rumah Sakit Onder de Bogen dan dirawat hingga akhir hayatnya pada 22 Oktober 1939.[27][28] Dorodjatun sebagai putra mahkota kemudian mengumpulkan para saudara dan pamannya untuk bermusyawarah siapa yang akan menjadi Sultan selanjutnya. Kesemua kerabatnya sepakat akan mengangkat Dorodjatun sebagai Sultan selanjutnya.[29][30]

Sejak abad ke-18, para Penguasa Mataram diharuskan menandatangani kontrak politik dengan Pemerintah Kolonial Belanda sebelum naik takhta. Hal ini juga terjadi ketika Dorodjatun akan naik takhta.[31] Hampir setiap hari Dorodjatun harus berunding dengan Gubernur Yogyakarta Lucien Adam sejak awal November 1939 mengenai kontrak politiknya. Perjanjian ini digunakan untuk memperbarui kontrak politik yang ditandatangani pada masa Hamengkubuwana VIII berkuasa.[32] Berbeda dengan perundingan masa-masa sebelumnya, Dorodjatun yang berpendidikan tinggi lebih banyak mendebatkan isi-isi kontrak politik itu. Dorodjatun menolak beberapa isi yang dinilai melancarkan kepentingan pihak Belanda, di antaranya adalah Patih Danurejo yang selain bertanggung jawab kepada Sultan juga menjadi pegawai Belanda, adanya dewan penasihat dari Pemerintah Hindia Belanda, serta prajurit keraton berada di bawah KNIL.[33][34] Sementara itu, Pemerintah Belanda keberatan akan permintaan pihak Yogya, di antaranya persoalan anggaran sipil, kepolisian, kehutanan, dan jangkauan legal otoritas Belanda serta menilai pengelolaan keuangan keraton tidak transparan.[35]

Setelah empat bulan berunding dengan alot, Dorodjatun tiba-tiba menyetujui kontrak politik tersebut secara langsung tanpa adanya penolakan atas isi-isinya sebagaimana yang telah disampaikan dalam perundingan-perundingan tersebut. Pada tanggal 12 Maret 1940, kontrak politik yang terdiri atas 17 bab dan 59 pasal tersebut ditandatangani oleh kedua pihak meskipun dalam surat tertanggal 18 Maret 1940.[36][37]

Penobatan[sunting | sunting sumber]

GRM Dorodjatun dinobatkan sebagai Sri Sultan Hamengkubuwana IX pada tanggal 18 Maret 1940, sesuai dengan tanggal berlakunya kontrak politik dengan Pemerintah Hindia Belanda. Gubernur Lucien Adam menobatkan GRM Dorodjatun untuk dua gelar sekaligus. Gelar pertama adalah gelar Pangeran Adipati Anom Hamengku Negara Sudibya Raja Putra Narendra Mataram, gelarnya sebagai Putra Mahkota. Setelahnya, dinobatkanlah Sri Sultan Hamengkubuwana IX dengan gelar Sampéyan Dalem Ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengkubuwana Sénapati ing Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama Kalifatullah ingkang Jumeneng Kaping Sanga.[38]

Pemerintahan di bawah Pendudukan Jepang

Dua tahun setelah penobatannya, Jepang menduduki Hindia Belanda. Sultan Hamengkubuwana IX diberi otonomi untuk menjalankan pemerintahan di daerahnya di bawah Pemerintah Kolonial Jepang. Jabatan Pepatih Dalem yang sebelumnya harus bertanggung jawab kepada Sultan dan Pemerintah Kolonial Belanda kini hanya bertanggung jawab kepada Sultan saja.[39][40] Sultan Hamengkubuwana IX diangkat kembali sebagai Penguasa Yogyakarta pada 1 Agustus 1942 oleh Panglima Besar Tentara Pendudukan Jepang di Jakarta dan Yogyakarta dijadikan sebuah Kochi (Daerah Istimewa).[41] Di tengah banyaknya pengambilan penduduk menjadi romusa, Sultan mampu mencegahnya dengan memanipulasi data statistik pertanian dan peternakan. Sultan mengajukan pembangunan sebuah kanal irigasi yang menghubungkan Kali Progo dan Kali Opak agar pengairan sawah dapat dilakukan sepanjang tahun yang sebelumnya masih bersistem tadah hujan. Usulan ini diterima bahkan dibantu pendanaan untuk pembangunannya. Saluran irigasi ini kemudian dinamakan Selokan Mataram dan dalam bahasa Jepang dinamakan Gunsei Yosuiro (Kanal Yosuiro). Setelah Selokan Mataram selesai pembangunannya, produktivitas pertanian meningkat sehingga penduduk yang dijadikan romusa berkurang drastis meskipun masih ada beberapa yang dibawa oleh Pemerintah Kolonial.[42][43]

Dukungan pada Republik Indonesia

Sultan Hamengkubuwana IX dalam masa Revolusi Nasional Indonesia sekitar akhir 1940-an.

Pada awal kemerdekaan Republik Indonesia, keadaan perekonomian sangat buruk. Kas negara kosong, pertanian dan industri rusak berat akibat perang. Blokade ekonomi yang dilakukan Belanda membuat perdagangan dengan luar negeri terhambat. Kekeringan dan kelangkaan bahan pangan terjadi di mana-mana, termasuk di Yogyakarta. Oleh karena itu, untuk menjamin agar roda pemerintahan RI tetap berjalan, Sultan Hamengkubuwana IX menyumbangkan kekayaannya sekitar 6.000.000 Gulden, baik untuk membiayai pemerintahan, kebutuhan hidup para pemimpin dan para pegawai pemerintah lainnya. Setelah Perundingan Renville, pada tanggal 19 Desember 1948 Belanda melakukan Agresi Militer yang ke-2. Sasaran penyerbuan adalah Ibu kota Yogyakarta. Selanjutnya pada tanggal 22 Desember 1948 Presiden SukarnoWakil Presiden Mohammad HattaSutan Syahrir dan para pembesar lainnya di tangkap Belanda dan diasingkan ke Pulau Bangka. Sementara itu, Sultan Hamengkubuwana IX tidak ditangkap karena kedudukannya yang istimewa, dikhawatirkan akan mempersulit keberadaan Belanda di Yogyakarta. Selain itu, waktu itu Belanda sudah mengakui Yogyakarta sebagai kerajaan dan menghormati kearifan setempat. Akan tetapi, Sultan menolak ajakan Belanda untuk bekerja sama dengan Belanda. Untuk itu, Sultan Hamengkubuwana IX menulis surat terbuka yang disebarluaskan ke seluruh daerah Yogyakarta. Dalam surat itu dikatakan bahwa Sultan "meletakkan jabatan" sebagai Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta. Pengunduran diri Sultan kemudian diikuti oleh Sri Paku Alam. Hal ini bertujuan agar masalah keamanan di wilayah Yogyakarta menjadi beban tentara Belanda. Selain itu dengan demikian, Sultan tidak akan dapat diperalat untuk membantu musuh. Sementara itu, secara diam-diam Sultan membantu para pejuang RI, dengan memberikan bantuan logistik kepada para pejuang, pejabat pemerintah RI dan orang-orang Republiken. Bahkan di lingkungan keraton, Sultan memberikan tempat perlindungan bagi kesatuan-kesatuan TNI. Pada Februari 1949, dengan bantuan kurir, Sultan menghubungi Panglima Besar Sudirman untuk meminta persetujuannya melaksanakan serangan umum terhadap Belanda. Setelah mendapat persetujuan Panglima Sudirman, Sultan langsung menghubungi Letkol Soeharto untuk memimpin serangan umum melawan Belanda di Yogyakarta. Serangan ini berhasil menguasai Yogyakarta selama sekitar enam jam. Kemenangan ini penting untuk menunjukkan kepada dunia bahwa bangsa Indonesia masih terus berjuang untuk mempertahankan kemerdekaannya. Sesuai dengan hasil Perundingan Roem-Royen, maka pasukan Belanda harus ditarik dari daerah Yogyakarta. Pihak Belanda minta jaminan keamanan selama penarikan itu berlangsung. Untuk itu, Presiden Sukarno mengangkat Sri Sultan sebagai penanggung jawab keamanan dan tugas itu dilaksanakannya dengan baik. Pada tanggal 27 Desember 1949 ketika di Belanda berlangsung penyerahan kedaulatan, maka di Istana Rijkswik (Istana Merdeka) Jakarta, juga terjadi penyerahan kedaulatan dari Wakil Tinggi Mahkota Belanda kepada Pemerintah RIS. Sri Sultan Hamengkubuwana IX kembali mendapatkan kepercayaan untuk menerima penyerahan kedaulatan itu sebagai wakil dari pemerintahan RIS.

Serangan Umum 1 Maret 1949

Sri Sultan Hamengkubuwana IX saat sumpah jabatan sebagai Wakil Presiden RI pada 24 Maret 1973 di Gedung DPR/MPR RI.

Peranan Sultan Hamengkubuwana IX dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 oleh TNI masih tidak sinkron dengan versi Soeharto. Menurut Sultan, ialah yang melihat semangat juang rakyat melemah dan menganjurkan serangan umum. Sedangkan menurut Suharto, ia baru bertemu Sultan malah setelah penyerahan kedaulatan. Sultan menggunakan dana pribadinya (dari istana Yogyakarta) untuk membayar gaji pegawai republik yang tidak mendapat gaji semenjak Agresi Militer ke-2.

Mata uang Indonesia yang bergambar Hamengkubuwana IX.

Sejak 1946 ia pernah beberapa kali menjabat menteri pada kabinet yang dipimpin Presiden Sukarno. Jabatan resminya pada tahun 1966 adalah ialah Menteri Utama di bidang Ekuin. Pada tahun 1973 ia diangkat sebagai wakil presiden. Pada akhir masa jabatannya pada tahun 1978, ia menolak untuk dipilih kembali sebagai wakil presiden dengan alasan kesehatan. Namun, ada rumor yang mengatakan bahwa alasan sebenarnya ia mundur adalah karena tak menyukai Presiden Soeharto yang represif seperti pada Peristiwa Malari dan hanyut pada KKN.

Ia ikut menghadiri perayaan 50 tahun kekuasaan Ratu Wilhelmina di AmsterdamBelanda pada tahun 1938.

Bapak Pramuka Indonesia

Sri Sultan Hamengkubuwana IX adalah Bapak Pramuka Indonesia.

Sejak usia muda Hamengkubuwana IX telah aktif dalam organisasi pendidikan kepanduan. Menjelang tahun 1960-an, Hamengkubuwana IX telah menjadi Pandu Agung (Pemimpin Kepanduan). Pada tahun 1961, ketika berbagai organisasi kepanduan di Indonesia berusaha disatukan dalam satu wadah, Sri Sultan Hamengkubuwana IX memiliki peran penting di dalamnya. Presiden RI saat itu, Sukarno, berulang kali berkonsultasi dengan Sri Sultan tentang penyatuan organisasi kepanduan, pendirian Gerakan Pramuka, dan pengembangannya.

Pada tanggal 9 Maret 1961, Presiden Sukarno membentuk Panitia Pembentukan Gerakan Pramuka. Panitia ini beranggotakan Sri Sultan Hamengkubuwana IX, Prof. Prijono (Menteri P dan K), Dr.A. Azis Saleh (Menteri Pertanian), dan Achmadi (Menteri Transmigrasi, Koperasi dan Pembangunan Masyarakat Desa). Panitia inilah yang kemudian mengolah Anggaran Dasar Gerakan Pramuka dan terbitnya Keputusan Presiden RI Nomor 238 Tahun 1961, tanggal 20 Mei 1961.

Pada tanggal 14 Agustus 1961, yang kemudian dikenal sebagai Hari Pramuka, selain dilakukan penganugerahan Panji Kepramukaan dan defile, juga dilakukan pelantikan Mapinas (Majelis Pimpinan Nasional), Kwarnas dan Kwarnari Gerakan Pramuka. Sri Sultan Hamengkubuwana IX menjabat sebagai Ketua Kwarnas sekaligus Wakil Ketua I Mapinas (Ketua Mapinas adalah Presiden RI).

Sri Sultan bahkan menjabat sebagai Ketua Kwarnas (Kwartir Nasional) Gerakan Pramuka hingga empat periode berturut-turut, yakni pada masa bakti 1961-1963, 1963-1967, 1967-1970 dan 1970-1974. Sehingga selain menjadi Ketua Kwarnas yang pertama kali, Hamengkubuwana IX pun menjadi Ketua Kwarnas terlama kedua, yang menjabat selama 13 tahun (4 periode) setelah Letjen. Mashudi yang menjabat sebagai Ketua Kwarnas selama 15 tahun (3 periode).

Keberhasilan Sri Sultan Hamengkubuwana IX dalam membangun Gerakan Pramuka dalam masa peralihan dari “kepanduan” ke “kepramukaan”, mendapat pujian bukan saja dari dalam negeri, tetapi juga dari luar negeri. Dia bahkan akhirnya mendapatkan Bronze Wolf Award dari World Organization of the Scout Movement (WOSM) pada tahun 1973. Bronze Wolf Award merupakan penghargaan tertinggi dan satu-satunya dari World Organization of the Scout Movement (WOSM) kepada orang-orang yang berjasa besar dalam pengembangan kepramukaan.

Atas jasa tersebutlah, Musyawarah Nasional (Munas) Gerakan Pramuka pada tahun 1988 yang berlangsung di Dili (Ibu kota Provinsi Timor Timur, sekarang negara Timor Leste), mengukuhkan Sri Sultan Hamengkubuwana IX sebagai Bapak Pramuka Indonesia. Pengangkatan ini tertuang dalam Surat Keputusan nomor 10/MUNAS/88 tentang Bapak Pramuka.

Wafat

Minggu malam 2 Oktober 1988, Sri Sultan Hamengkubuwana IX meninggal dunia di George Washington University Medical Center, Amerika Serikat karena serangan jantung dan dimakamkan di pemakaman para sultan Mataram di ImogiriKabupaten BantulDI YogyakartaIndonesia.




No comments:



Google Art & Culture
Mengenal Candi-candi di Indonesia Secara Daring

Pages